Pada
kesempatan ini kami akan menyajikan artikel tentang bagaimana agroforestry
mengatasi permasalahan sosial dan lingkungan. Akhir-akhir ini seringkali dalam
forum bebas maupun formal banyak kalangan mempertanyakan bagaimana agroforestry dapat mengatasi permasalahan
sosial dan lingkungan, ini terkait dengan bagaimana teknik yang digunakan oleh
para penggiat lahan dalam mengolah dan melestarikan alam.
Agroforestry
adalah teknik pertanaman yang memadukan tanaman kayu yang berumur panjang
dengan tanaman pertanian (palawija), peternakan atau perikanan pada di dalam
atau di luar kawasan hutan. Pola tanam agroforestry sudah dipraktekkan oleh
manusia di muka bumi ini sejak jaman dahulu kala, tetapi ilmu agroforestry
sendiri baru berkembang sejak tiga dekade yang lalu. Pola tanam agroforestry
pada dasarnya dipraktekkan untuk satu tujuan yakni efisiensi penggunaan lahan,
artinya dari sebidang lahan bisa dihasilkan berbagai produk yang bernilai
ekonomi. Pola tanam agroforestry dipraktekkan secara luas dalam rangka
rehabilitasi hutan dengan melibatkan petani miskin dan lapar lahan (land-less
farmer) di sekitar hutan.
Masalah
sosial-ekonomi pada pembangunan hutan
Peluso
(1992) membuka wacana kemiskinan di sekitar hutan (jati di Pulau Jawa) dengan
buku indah dengan judul `provokatif` yakni: rich forest poor people. Ia
menyajikan data dan analisis sosial-ekonomi masyarakat sekitar hutan, ketika
hutan dan pihak kehutanan masih cukup membantu (bukan memanfaatkan) petani.
Pada tahun 70-an, petani berhak atas bermacam-macam insentif (berupa uang,
beras dan/atau hewan ternak) jika mau mengambil posisi sebagai pesanggem, yakni
menggarap tanah di hutan, mananam tanaman kehutanan dan memiliki hak atas
tanaman pertanian yang ditanam olehnya.
Agroforestry
mengatasi permasalahan sosial dan lingkungan
Akan
tetapi, kondisi pembangunan hutan sudah berubah. Hutan pada saat ini sudah
miskin, setelah terjadi banyak kasus gagal tanam. Kegagalan
tanam adalah masalah kompleks yang sangat sulit ditelusur akar masalahnya: bisa
ekologis, sosio-ekonomis atau politis, bahkan mismanagement dan
misinterpretation. Akibatnya jelas, tiap musim penghujan datang bencana banjir
dan tanah longsor menjadi momok bagi masyarakat. Di sisi lain, masyarakat
sekitar hutan (petani) tetap dan semakin miskin. Pun petani yang terlibat dalam
pembangunan hutan. Bagaimana mungkin menyejahterakan petani sekitar hutan,
sementara pegawai kehutanan yang tingkat rendah pada saat ini juga dililit
kemiskinan. Pada jaman dulu, pegawai tingkat rendahan pun punya akses terhadap
hasil hutan, yang bisa menghasilkan tambahan pendapatan di luar gajinya. Namun
pada saat ini, semua sudah berubah. Hutan sudah sangat miskin, pegawai
kehutanan (sekali lagi yang tingkat rendahan) juga miskin, dan petani sekitar
hutan semakin miskin. Jadilah diskursus: rich forest, poor people berubah
menjadi poor
forest for the poorest people.
Petani
juga selalu menilai posisi hutan secara fisik dan jangka pendek. Ini tidak
lepas dari urusan subsistensi. Padahal fungsi lain hutan yang `non-fisik` dan
jangka panjang lebih utama, misalnya pengatur tata air, udara dan iklim global.
Dalam jangka panjang hutan juga mampu mendukung kehidupan masyarakat sekitar
hutan dan dunia di luar hutan, melalui peran hutan dalam pemeliharaan
lingkungan dan mitigasi kerusakan iklim global. Akankah petani yang miskin dan
kurang berpendidikan kita ajak berpikir panjang dan global?
Jadi,
bagaimana mau mencetak kesejahteraan dari hutan dan bagaimana mau merawat
lingkungan, jika hutan sudah tidak mampu untuk itu. Hutan sudah tidak mampu
mendukung kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan. Hal ini ditambah
dengan adanya wacana bahwa tidak mungkin mencetak petani yang makmur atau kaya
jika hanya mengandalkan bertani di hutan. Untuk kasus hutan jati di Jawa,
posisi tawar (bargaining position) petani sekitar hutan telah menurun seiring
dengan: luas tanah pertanian yang menurun secara drastis, luas garapan di hutan
yang terbatas (karena harus berbagi dengan yang lain), dan usaha di luar hutan
yang tidak menjanjikan.
Agroforestry
sebagai jalan tengah
Pada
era 80-an, pemerintah Indonesia mengkampanyekan istilah "memanfaatkan
setiap jengkal tanah untuk meningkatkan kesejahteraan". Kemudian pada era
90-an, muncul teknologi "pertanian vertikal" yang memanfaatkan setiap
lapisan ruang di atas dan di bawah permukaan tanah untuk menghasilkan produk
pertanian. Kedua terminologi teknis tersebut menunjukkan bahwa lahan untuk
pertanian semakin sempit dan rata-rata kepemilikan lahan per kapita semakin
menurun, terutama di Pulau Jawa. Bahkan, sejak tahun 60-an telah ditengarai
adanya ketidakseimbangan antara ketersediaan tanah pertanian dengan pertumbuhan
penduduk di pulau Jawa (Simon 1999). Di samping itu, daya dukung tanah juga
semakin melemah, karena kualitas lahan yang semakin menurun yang disebabkan
oleh pengikisan lapisan subur pada pemukaan tanah (erosi, sedimentasi dan
run-off) pada tanah-tanah yang dikelola secara intensif.
Agroforestry
pada dasarnya adalah pola pertanaman yang memanfaatkan sinar matahari dan tanah
yang `berlapis-lapis` untuk meningkatkan produktivitas lahan. Ambil contoh
berikut ini. Pada sebidang tanah, seorang petani menanam sengon (Paraserianthes
falcataria) yang memiliki tajuk (canopy) yang tinggi dan luas. Di bawahnya,
sang petani menanam tanaman kopi (Coffea spp) yang memang memerlukan naungan
untuk berproduksi. Lapisan terbawah di dekat permukaan tanah dimanfaatkan untuk
menanam empon-empon atau ganyong (Canna edulis) yang toleran/tahan terhadap
naungan. Bisa dimengerti bahwa dengan menggunakan pola tanam agroforestry ini,
dari sebidang lahan bisa dihasilkan beberapa komoditas yang bernilai ekonomi.
Akan tetapi sebenarnya pola tanam agroforestry sendiri tidak sekedar untuk
meningkatkan produktivitas lahan, tetapi juga melindungi lahan dari kerusakan
dan mencegah penurunan kesuburan tanah melalui mekanisme alami. Tanaman kayu
yang berumur panjang diharapkan mampu memompa zat-zar hara (nutrient) di
lapisan tanah yang dalam, kemudian ditransfer ke permukaan tanah melalui
luruhnya biomasa. Mekanisme ini juga mampu memelihara produktivitas tanaman
yang berumur pendek, seperti palawija. Mekanisme alami ini menyerupai ekosistem
hutan alam, yakni tanpa input dari luar, ekosistem mampu memelihara kelestarian
produksi dalam jangka panjang. Pola tanam agroforestry yang dianggap paling
mendekati struktur hutan alam adalah pekarangan atau kebun. Pada
pekarangan/kebun, tanaman-tanaman tumbuh secara acak sehingga menciptakan
struktur tajuk dan perakaran yang berlapis. Jadi manfaat ganda dari pola
agroforestry (yang ideal dan konsisten) adalah peningkatan produktivitas dan
pemeliharaan lingkungan.
Pola
pertanaman yang diterapkan pada hutan jati di Jawa adalah tumpangsari, yang
merupakan salah satu pola agroforestry. Tumpangsari di hutan jati di Jawa pada
dasarnya sama dengan perladangan berpindah, dalam hal: memanfaatkan pembukaan
hutan baru yang tanahnya masih subur. Sehingga tumpangsari sering disebut
sebagai an improved shifting cultivation (Nair 1993). Prinsipnya tumpangsari
yang konvensional hanya dilaksanakan selama tanah masih subur (dan sinar
matahari masih cukup untuk palawija), sekitar 2-3 tahun pertama. Jika tidak ada
input pemupukan oleh petani maka tumpangsari sudah dilakukan selama lebih dari
3 tahun dipastikan menghasilkan produktivitas yang rendah.
Pada
dasarnya pola tanam agroforestry dapat dipisahkan menjadi dua yakni
agroforesrty di dalam dan di luar kawasan hutan. Akhir-akhir ini berkembang
wacana bahwa pertanaman kayu di luar kawasan hutan lebih menjanjikan daripada
yang di dalam kawasan hutan. Sebagai misal, bahan baku industri ukir Jepara
pada saat ini sebagian besar disuplai oleh kayu jati yang dihasilkan dari hutan
rakyat di Gunung Kidul, dan bukan dari hutan jati. Gejala ini menunjukkan bahwa
potensi dan kualitas hutan menurun setiap waktu, karena kurangnya rasa memiliki
hutan sebagai penyangga lingkungan.
Lebih
lanjut, pola tanam agroforestry di dalam kawasan hutan dapat dibedakan menjadi
pertanaman yang menghasilkan non-timber forest product (NTFP) dan timber forest
product. Pertanaman NTFP misalnya hutan kayu putih di Jawa atau eksploitasi
damar mata kucing di Sumatra Selatan. Secara umum pertanaman agroforestry yang
menghasilkan NTFP relatif lebih lestari daripada pertanaman yang memproduksi
kayu. Pada kawasan yang memproduksi NTFP, komponen utama berupa tanaman kayu
tidak dipanen, sehingga fungsinya sebagai hutan tetap terjaga.
Tantangan
Permasalahan
yang perlu menjadi perhatian adalah adanya kesenjangan antara pola tanam
agroforestry yang dilakukan masyarakat petani dengan konsep dan kemajuan
penelitian tentang agroforestry. Petani masih berkutat dengan kemiskinan dan
memenuhi urusan perut, sementara peneliti agroforestry berbicara tentang CO2
flux. Kalangan peneliti berharap besar pada agroforestry sebagai pola tanam
yang mampu menyelamatkan lingkungan. Atau lebih sederhana, petani berbicara
masalah mempertahankan hidup, peneliti berbicara kelestarian lingkungan global.
Teknologi agroforestry mestinya sudah dipraktekkan secara modern tanpa
meninggalkan fungsinya sebagai pendukung ketahanan masyarakat miskin.
Referensi
- Nair
PKR (1993) An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academis Publishers. The
Netherlands.
- Peluso
NL (1992) Rich forest, poor people: resource control and resistance in Java.
University of California Press, Ltd., California.
- Simon
H (1999) Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati
di Jawa. BIGRAF Publishing, Yogyakarta, Indonesia
Sumber
: wisatahutan.com
Posting Komentar