Juli 2012 kita dikenalkan pada temuan
cabai paling pedas di dunia yang baru dirilis tahun kemarin. Namanya trinidad
scorpion butch alias si ekor kalajengking. Demikian pedasnya, sampai-sampai
untuk memegangnya saja perlu pakai sarung tangan. Kalau tidak, kulit anda akan
serasa tersengat panas, dan kalau ada di Indonesia, harganya mencapai Rp 8.000
per buah! Kita juga mengenal ukuran pedas internasional yaitu SHU, Scoville
Heat Unit yang disebut sebut skala scoville.
Sebagai contoh cabai merah yang memang kurang pedas,
biasanya berkisar antara 1.000-3.000 SHU; cabai rawit, mencapai 50.000-100.000
SHU, masuk golongan lebih pedas. Berapa ukuran pedas cabai ekor kalajengking?
Jangan kaget, antara 1.400.000-2.000.000
SHU. Artinya sebutir trinidad scorpion setara dengan 15-20 cabai rawit
kita. Cabai Indonesia memang tergolong yang paling bersahabat. Tidak terlalu
ekstrem dibandingkan cabai-cabai paling hot di tingkat dunia.
Aneka Sambal
Aneka Sambal
Sambel ulek Indonesia menduduki posisi kunci dalam
sepuluh menu paling pedas di bumi ini. Di atas sambel ulek kita ada tom yum
dari Thailand, shrimp creole dan ayam tabasco dari Amerika Serikat, vindaloo
(India), wot (Ethiopia), kimchi bibimbab (Korea Selatan). Meskipun demikian,
kita boleh bangga bahwa Indonesia punya serba-serbi sambal. Lebih dari 70 jenis
sambal di seluruh Indonesia, dan memerlukan kamus serta buku resep tersendiri.
Artinya, meski bukan pemegang rekor ekstrem pedas, ibu-ibu kita bisa diandalkan
paling pintar membuat variasi sambal dan masakan dari cabai.
Mulai dari sambal terasi sampai sambal tempoyak
durian. Mulai dari sayur cabai teri di Jawa Timur, dendeng balado di Sumatera
Barat, sampai cakalang rica-rica hingga dabu-dabu di Sulawesi Utara. Yang
nyaris tak terhitung adalah berbagai varietas sambal goreng. Hampir semua
makanan di permukaan planet ini ada sambal gorengnya. Pertanyaannya, apakah
ibu-ibu Indonesia termasuk penggemar atau penyuka cabai alias Capsicum annuum?
“Bukan penggemar, bukan penyuka, tapi pecandu cabai!”
Begitu dokter Rezki Khainidar menjelaskan dari Padang, Sumatera Barat. Untuk
merebus satu kilogram daging diperlukan seperempat kilogram cabai agar menjadi
pangek padeh atau asam pedas. Makanan serba cabai di Ranah Minang dikenal
dengan nama sambalado cangkuak. Semua tak lepas dari cabai.
Dokter Wiwik Alisjahbana di Bandung, yang juga
berdarah Minang, berkata,” Setiap kali ke pasar, nomor satu yang saya beli
adalah cabai. Setiap pekan tidak kurang dari satu kilogram cabai untuk keluarga
kami.” Hitung saja, satu pekan satu
kilogram. Berarti satu tahun 52 kg. Kalau dibagi empat orang-termasuk suami dan
dua putri mereka-maka konsumsi cabai keluarga itu mencapai 13 kg per kapita per
tahun. Sebagai bandingan, di Amerika Serikat konsumsi cabai tidak lebih dari
8,2 kg per kapita per tahun. Angka itu di luar paprika dan berbagai cabai manis
lain yang tingkat kepedasannya berkisar antara 250-1.000 SHU.
Sejak Janin
Tentu harus dicatat juga banyak keluarga tidak pernah
beli cabai sama sekali, karena memakai sumber pedas lain seperti lada,
ketumbar, lengkuas, cengkih, dan bawang putih. Meskipun bukan termasuk yang
paling ekstrem pedasnya, toh kita harus mengakui masyarakat tradisional kita
banyak yang suka pedas juga. Tunggu dulu. Pada usia berapakah seorang anak
Minang mulai mengonsumsi cabai?
Dokter Rezki Khainidar menerangkan, setiap anak
Minangkabau mulai menikmati cabai sejak dalam kandungan ibunya. Semua yang
dikonsumsi ibu selama mengandung, otomatis juga dinikmati bayinya. Jadi, sejak
masih janin pun warga Sumatera Barat sudah terlatih menikmati yang pedas-pedas.
Setelah berumur satu tahun, anak-anak itu sudah boleh mendapatkan sanjai,
goreng ubi-kayu berlumur sambal kesukaan mereka. Apakah hanya di Provinsi
Sumatera Barat? Ternyata tidak.
Hartati Ngesti, sarjana pendidikan dari Wonosobo, Jawa
Tengah, berkata: “Tempe kemul paling nikmat dimakan dengan cabai. Satu iris
tempe kemul yang digoreng dengan tepung dan masih terasa empuk, bisa dimakan
dengan sepuluh biji cabai.” Bukan hanya tempe kemul. Di Kota Wonosobo yang
terkenal dingin itu, seporsi martabak berharga Rp20,000 disajikan dengan 40
cabai rawit pula. Kalau tidak tahan pedas, biasanya langsung digelontor dengan
minum air panas.
Apakah itu pas dengan udara dingin kota pegunungan?
Tidak juga. Di Semarang, Lubna, seorang dosen program kajian budaya, selalu
menyiapkan rajangan cabai yang digoreng kering di dapurnya. Setiap saat,
gorengan cabai harus tersedia untuk menikmati lontong sayur dan masakan
lainnya. Itu dipilih dari cabai merah yang besar-besar, dengan harga Rp20.000
per kilo. “Cabai menambah nafsu makan,” katanya. Ibu-ibu Minang berkeyakinan,
cabai membuat hidup menjadi lebih hidup. Lebih bersemangat!
Ibu-ibu di Nangroe Aceh Darussalam juga tak mungkin
berpisah dari cabai yang di sana disebut campli. Cabai teristimewa dipakai
untuk masak gulai kambing dan asam-pedas yang disebut asam keu eung. Kesukaan pada masakan pedas itu pun merata
hingga ke Pulau Timor. Dalam bahasa Tetun disebut kunus, dan masakan khas di
Kupang yang dimakan dengan cabai adalah jagung bose.
Sepuluh Manfaat
Sebenarnya cabai yang sudah dibudidayakan manusia
sejak 6.000 tahun lalu punya tiga peran. Pertama sebagai tanaman hias, kedua
tanaman obat, dan ketiga sumber makanan tambahan. Khusus sebagai makanan, cabai
memberikan lebih dari 10 manfaat. Cabai meningkatkan metabolisme tubuh karena
menggerakkan darah lebih cepat. Cabai juga mencegah perut kembung, meredakan
pilek, mengurangi risiko kanker, menahan berat badan, dan menghambat
pertumbuhan cendawan pada kulit.
Selain itu cabai juga berfungsi sebagai antibiotik,
melancarkan buang air besar, bahkan bisa menurunkan demam. Di dunia farmasi,
minyak cabai merangsang pertumbuhan rambut dan menyehatkan pori-pori. Industri
dan kajian cabai sampai sekarang masih dipimpin Amerika. Padahal, negara itu hanya penghasil cabai
nomor 6 terbesar di dunia. Lima besar di atasnya tetap didominasi China, Meksiko,
Turki, India, dan tentu saja Indonesia. Namun, di negara bagian New Mexico,
Amerika Serikat, terdapat Institut Cabai yang terbesar dan terpenting di dunia.
Boleh dicatat juga, ada kelompok Hot Chili Peppers
yang terkenal dengan lagu-lagu pedasnya. Beberapa kebun cabai di Amerika
Serikat, demikian besarnya sehingga bisa panen sampai ribuan ton dari satu
lokasi saja. Perdagangan cabai dunia memang disyaratkan dengan order-order
besar. Tengoklah daftar eksportir cabai dari India, yang hanya melayani pesanan
puluhan ton, termasuk kalau yang Anda beli adalah bubukan cabai yang bernilai
US$3.500 per ton. Dalam jajaran komoditas cabai, India paling getol
pemasarannya. Mereka menyediakan cabai dalam bentuk kering, bubukan, dan
gilingan.
Setiap hektar kebun cabai di Indonesia, biasa ditanami
sampai 16.000 bibit. Di sentra cabai daerah Brebes, Jawa Tengah, biasanya cabai
ditanam tumpang gilir dengan bawang merah.
Umumnya sebatang tanaman cabai lokal hanya
menghasilkan 0,6 kg. Namun, dengan benih impor dan pemupukan yang bagus, setiap
tanaman bisa berbuah 2 kg, sehingga panen satu hektar bisa mencapai 32 ton.
Bibit yang biasa diimpor adalah cabai keriting hot beauty dari Taiwan. Modal
yang diperlukan bisa mencapai Rp 40 juta per hektar, karena memerlukan plastik
mulsa penutup tanah, dan pemupukan. Namun, dengan patokan harga Indofood,
yaitu Rp7.000 per kilogram saja,
berapakah keuntungan yang bisa diraup?
Padahal, ada kalanya harga cabai meroket dan menggila
sampai lebih mahal daripada daging. Suatu saat pernah di atas Rp50.000. Namun,
bisa juga anjlok sampai serendah-rendahnya. Jangan heran kalau harga satu kilo
cabai bisa kurang dari Rp1.000, bahkan tujuh ratus rupiah! Hal itu bisa terjadi ketika semua orang
menanami sawahnya dengan cabai, antara bulan Mei hingga Agustus yang kering,
dan memang menghasilkan cabai berlimpah. Untuk menghadapi sensasi yang tak
terduga itulah, patokan harga menjadi sangat berperan.
Cabai memang tidak hanya menyehatkan jantung dengan
memperbaiki aliran darah, tetapi bisnis cabai juga mengajak petani dan konsumen
sport jantung. Selamat berpuasa, dan menyambut hari Lebaran.
Posting Komentar