Agroforestry

Pada kesempatan ini kami akan menyajikan artikel tentang bagaimana agroforestry mengatasi permasalahan sosial dan lingkungan. Akhir-akhir ini seringkali dalam forum bebas maupun formal banyak kalangan mempertanyakan  bagaimana agroforestry dapat mengatasi permasalahan sosial dan lingkungan, ini terkait dengan bagaimana teknik yang digunakan oleh para penggiat lahan dalam mengolah dan melestarikan alam.

Agroforestry adalah teknik pertanaman yang memadukan tanaman kayu yang berumur panjang dengan tanaman pertanian (palawija), peternakan atau perikanan pada di dalam atau di luar kawasan hutan. Pola tanam agroforestry sudah dipraktekkan oleh manusia di muka bumi ini sejak jaman dahulu kala, tetapi ilmu agroforestry sendiri baru berkembang sejak tiga dekade yang lalu. Pola tanam agroforestry pada dasarnya dipraktekkan untuk satu tujuan yakni efisiensi penggunaan lahan, artinya dari sebidang lahan bisa dihasilkan berbagai produk yang bernilai ekonomi. Pola tanam agroforestry dipraktekkan secara luas dalam rangka rehabilitasi hutan dengan melibatkan petani miskin dan lapar lahan (land-less farmer) di sekitar hutan.

Masalah sosial-ekonomi pada pembangunan hutan

Peluso (1992) membuka wacana kemiskinan di sekitar hutan (jati di Pulau Jawa) dengan buku indah dengan judul `provokatif` yakni: rich forest poor people. Ia menyajikan data dan analisis sosial-ekonomi masyarakat sekitar hutan, ketika hutan dan pihak kehutanan masih cukup membantu (bukan memanfaatkan) petani. Pada tahun 70-an, petani berhak atas bermacam-macam insentif (berupa uang, beras dan/atau hewan ternak) jika mau mengambil posisi sebagai pesanggem, yakni menggarap tanah di hutan, mananam tanaman kehutanan dan memiliki hak atas tanaman pertanian yang ditanam olehnya.

Agroforestry mengatasi permasalahan sosial dan lingkungan

Akan tetapi, kondisi pembangunan hutan sudah berubah. Hutan pada saat ini sudah miskin, setelah terjadi banyak kasus gagal tanam. Kegagalan tanam adalah masalah kompleks yang sangat sulit ditelusur akar masalahnya: bisa ekologis, sosio-ekonomis atau politis, bahkan mismanagement dan misinterpretation. Akibatnya jelas, tiap musim penghujan datang bencana banjir dan tanah longsor menjadi momok bagi masyarakat. Di sisi lain, masyarakat sekitar hutan (petani) tetap dan semakin miskin. Pun petani yang terlibat dalam pembangunan hutan. Bagaimana mungkin menyejahterakan petani sekitar hutan, sementara pegawai kehutanan yang tingkat rendah pada saat ini juga dililit kemiskinan. Pada jaman dulu, pegawai tingkat rendahan pun punya akses terhadap hasil hutan, yang bisa menghasilkan tambahan pendapatan di luar gajinya. Namun pada saat ini, semua sudah berubah. Hutan sudah sangat miskin, pegawai kehutanan (sekali lagi yang tingkat rendahan) juga miskin, dan petani sekitar hutan semakin miskin. Jadilah diskursus: rich forest, poor people berubah menjadi poor forest for the poorest people.

Petani juga selalu menilai posisi hutan secara fisik dan jangka pendek. Ini tidak lepas dari urusan subsistensi. Padahal fungsi lain hutan yang `non-fisik` dan jangka panjang lebih utama, misalnya pengatur tata air, udara dan iklim global. Dalam jangka panjang hutan juga mampu mendukung kehidupan masyarakat sekitar hutan dan dunia di luar hutan, melalui peran hutan dalam pemeliharaan lingkungan dan mitigasi kerusakan iklim global. Akankah petani yang miskin dan kurang berpendidikan kita ajak berpikir panjang dan global?

Jadi, bagaimana mau mencetak kesejahteraan dari hutan dan bagaimana mau merawat lingkungan, jika hutan sudah tidak mampu untuk itu. Hutan sudah tidak mampu mendukung kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan. Hal ini ditambah dengan adanya wacana bahwa tidak mungkin mencetak petani yang makmur atau kaya jika hanya mengandalkan bertani di hutan. Untuk kasus hutan jati di Jawa, posisi tawar (bargaining position) petani sekitar hutan telah menurun seiring dengan: luas tanah pertanian yang menurun secara drastis, luas garapan di hutan yang terbatas (karena harus berbagi dengan yang lain), dan usaha di luar hutan yang tidak menjanjikan.

Agroforestry sebagai jalan tengah

Pada era 80-an, pemerintah Indonesia mengkampanyekan istilah "memanfaatkan setiap jengkal tanah untuk meningkatkan kesejahteraan". Kemudian pada era 90-an, muncul teknologi "pertanian vertikal" yang memanfaatkan setiap lapisan ruang di atas dan di bawah permukaan tanah untuk menghasilkan produk pertanian. Kedua terminologi teknis tersebut menunjukkan bahwa lahan untuk pertanian semakin sempit dan rata-rata kepemilikan lahan per kapita semakin menurun, terutama di Pulau Jawa. Bahkan, sejak tahun 60-an telah ditengarai adanya ketidakseimbangan antara ketersediaan tanah pertanian dengan pertumbuhan penduduk di pulau Jawa (Simon 1999). Di samping itu, daya dukung tanah juga semakin melemah, karena kualitas lahan yang semakin menurun yang disebabkan oleh pengikisan lapisan subur pada pemukaan tanah (erosi, sedimentasi dan run-off) pada tanah-tanah yang dikelola secara intensif.

Agroforestry pada dasarnya adalah pola pertanaman yang memanfaatkan sinar matahari dan tanah yang `berlapis-lapis` untuk meningkatkan produktivitas lahan. Ambil contoh berikut ini. Pada sebidang tanah, seorang petani menanam sengon (Paraserianthes falcataria) yang memiliki tajuk (canopy) yang tinggi dan luas. Di bawahnya, sang petani menanam tanaman kopi (Coffea spp) yang memang memerlukan naungan untuk berproduksi. Lapisan terbawah di dekat permukaan tanah dimanfaatkan untuk menanam empon-empon atau ganyong (Canna edulis) yang toleran/tahan terhadap naungan. Bisa dimengerti bahwa dengan menggunakan pola tanam agroforestry ini, dari sebidang lahan bisa dihasilkan beberapa komoditas yang bernilai ekonomi. Akan tetapi sebenarnya pola tanam agroforestry sendiri tidak sekedar untuk meningkatkan produktivitas lahan, tetapi juga melindungi lahan dari kerusakan dan mencegah penurunan kesuburan tanah melalui mekanisme alami. Tanaman kayu yang berumur panjang diharapkan mampu memompa zat-zar hara (nutrient) di lapisan tanah yang dalam, kemudian ditransfer ke permukaan tanah melalui luruhnya biomasa. Mekanisme ini juga mampu memelihara produktivitas tanaman yang berumur pendek, seperti palawija. Mekanisme alami ini menyerupai ekosistem hutan alam, yakni tanpa input dari luar, ekosistem mampu memelihara kelestarian produksi dalam jangka panjang. Pola tanam agroforestry yang dianggap paling mendekati struktur hutan alam adalah pekarangan atau kebun. Pada pekarangan/kebun, tanaman-tanaman tumbuh secara acak sehingga menciptakan struktur tajuk dan perakaran yang berlapis. Jadi manfaat ganda dari pola agroforestry (yang ideal dan konsisten) adalah peningkatan produktivitas dan pemeliharaan lingkungan.

Pola pertanaman yang diterapkan pada hutan jati di Jawa adalah tumpangsari, yang merupakan salah satu pola agroforestry. Tumpangsari di hutan jati di Jawa pada dasarnya sama dengan perladangan berpindah, dalam hal: memanfaatkan pembukaan hutan baru yang tanahnya masih subur. Sehingga tumpangsari sering disebut sebagai an improved shifting cultivation (Nair 1993). Prinsipnya tumpangsari yang konvensional hanya dilaksanakan selama tanah masih subur (dan sinar matahari masih cukup untuk palawija), sekitar 2-3 tahun pertama. Jika tidak ada input pemupukan oleh petani maka tumpangsari sudah dilakukan selama lebih dari 3 tahun dipastikan menghasilkan produktivitas yang rendah.

Pada dasarnya pola tanam agroforestry dapat dipisahkan menjadi dua yakni agroforesrty di dalam dan di luar kawasan hutan. Akhir-akhir ini berkembang wacana bahwa pertanaman kayu di luar kawasan hutan lebih menjanjikan daripada yang di dalam kawasan hutan. Sebagai misal, bahan baku industri ukir Jepara pada saat ini sebagian besar disuplai oleh kayu jati yang dihasilkan dari hutan rakyat di Gunung Kidul, dan bukan dari hutan jati. Gejala ini menunjukkan bahwa potensi dan kualitas hutan menurun setiap waktu, karena kurangnya rasa memiliki hutan sebagai penyangga lingkungan.

Lebih lanjut, pola tanam agroforestry di dalam kawasan hutan dapat dibedakan menjadi pertanaman yang menghasilkan non-timber forest product (NTFP) dan timber forest product. Pertanaman NTFP misalnya hutan kayu putih di Jawa atau eksploitasi damar mata kucing di Sumatra Selatan. Secara umum pertanaman agroforestry yang menghasilkan NTFP relatif lebih lestari daripada pertanaman yang memproduksi kayu. Pada kawasan yang memproduksi NTFP, komponen utama berupa tanaman kayu tidak dipanen, sehingga fungsinya sebagai hutan tetap terjaga.

Tantangan


Permasalahan yang perlu menjadi perhatian adalah adanya kesenjangan antara pola tanam agroforestry yang dilakukan masyarakat petani dengan konsep dan kemajuan penelitian tentang agroforestry. Petani masih berkutat dengan kemiskinan dan memenuhi urusan perut, sementara peneliti agroforestry berbicara tentang CO2 flux. Kalangan peneliti berharap besar pada agroforestry sebagai pola tanam yang mampu menyelamatkan lingkungan. Atau lebih sederhana, petani berbicara masalah mempertahankan hidup, peneliti berbicara kelestarian lingkungan global. Teknologi agroforestry mestinya sudah dipraktekkan secara modern tanpa meninggalkan fungsinya sebagai pendukung ketahanan masyarakat miskin.


Referensi





  • Nair PKR (1993) An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academis Publishers. The Netherlands.
  • Peluso NL (1992) Rich forest, poor people: resource control and resistance in Java. University of California Press, Ltd., California.
  • Simon H (1999) Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat: Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. BIGRAF Publishing, Yogyakarta, Indonesia





Sumber : wisatahutan.com

Lintas Komunitas dan LSM Aceh : Serukan Perangi Perburuan dan Perdagangan Harimau

Puluhan orang dari lintas komunitas dan LSM di Banda Aceh menyerukan penyelamatan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang terus diburu dan diperdagangkan. Mereka mengajak masyarakat untuk berani melapor ke aparat penegak hukum jika melihat kasus perburuan dan jual beli harimau baik dalam keadaan hidup atau mati.

Aksi ini dibuat dalam rangka peringatan Hari Harimau Sedunia yang jatuh pada tanggal 29 Juli 2016. Aksi ini diinisiasi oleh Gerakan Earth Hour Aceh dan Forum Kolaboraksi Komunitas Banda Aceh serta didukung oleh WWF Indonesia, Forum Harimau Kita, Fauna dan Flora Internasional dan Forum Konservasi Leuser.

Mereka berkumpul di depan Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Para peserta melakukan aksi berburu cap jempol dari masyarakat kota Banda Aceh untuk mendukung penghentian perburuan dan perdagangan harimau. Cap jempol dengan warna dan motif seperti kulit harimau ditempelkan di kain sepanjang 5 meter.

“Kain dengan cap jempol warga Banda Aceh ini akan dikirim ke Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya di Banda Aceh. Kita akan meminta pemerintah Indonesia serius memerangi perburuan dan perdagangan harimau dengan melakukan memberi hukuman yang berat bagi para pelaku kejahatan,” kata Cut Ervida, Koordinator Aksi dari Gerakan Earth Hour Aceh.

Menurut Cut Ervida, setiap tahun kasus-kasus perburuan dan jual beli harimau meningkat. Perlu kerjasama dari aparat dan masyarakat untuk bisa mencegah kasus-kasus serupa ke depan.
“Kita semua harus melawan upaya-upaya perburuan dan perdagangan harimau demi menyelamatkan harimau sumatera yang jumlahnya sudah sangat sedikit di alam,” kata Cut.

Cut Ervida mengatakan, dari 6 spesies harimau yang tersisa di dunia, harimau sumatera nasibnya paling tragis karena populasinya menurun sangat cepat. Diperkirakan hanya ada 400 ekor harimau di seluruh pulau Sumatera. Setiap tahun polisi menangkap barang bukti kulit harimau dan tulang-tulang yang akan diperdagangkan.  Sementara modus jual beli harimau hidup juga terpantau di internet.

Kampanye kreatif untuk penyelamatan harimau sumatera ini bertema "Thumbs Up For Tiger", dimana mereka akan memberikan dukungan berupa cap 2 jempol tangan sebagai simbol double tigers yang artinya melipatkan gandakan populasi harimau 2X lipat. Para peserta melukis wajah seperti harimau, mengusung poster, spanduk melakukan orasi, membaca puisi dan aksi flashmob untuk menarik perhatian masyarakat.



Sumber : http://acehinsight.com

Penerapan Teknologi Pertanian: Langkah Konkret Peningkatan Produktifitas Pangan Nasional

Dewasa ini, arus globalisasi semakin gencar. Penemuan teknologi masa kini semakin marak. Berbagai macam peralatan elektronik tersebar di seluruh penjuru dunia. Hal-hal yang pada zaman dahulu dikatakan sebuah mimpi, sekarang menjadi sebuah realita. Penerapan teknologi-teknologi modern di semua sektor kehidupan, memberikan kemudahan dan kebermanfaatan bagi manusia dalam menjalankan aktifitasnya. Karena memang tujuan utama adanya penemuan-penemuan teknologi yaitu untuk membantu manusia dan memberikan kemudahan dalam melakukan aktifitasnya, sehingga setiap aktivitas bisa lebih efektif dan efisien.

Begitu pula pada sektor pertanian. Dimana sekarang sudah banyak teknologi-teknologi pertanian yang sudah diterapkan oleh beberapa negara maju, dari mulai alat-alat pertanian, varietas-varietas unggul bibit pertanian, hingga budidaya pertanian dengan cara modern. Terbukti, dengan adanya teknologi pertanian dapat meningkatakan produktifitas pangan suatu negara. Contoh nyatanya adalah negara Amerika. Teknologi pertanian Amerika semakin maju sejak abad ke-19, banyak mesin dan teknologi pertanian yang ditemukan. Kemajuan teknologi yang semakin pesat, tidak membuat orang Amerika meninggalkan pertanian, namun justru pertanian di sana semakin berkembang. Mesin dan teknologi yang ditemukan, digunakan untuk meningkatkan hasil dan mutu pertanian.

Salah satu contohnya yaitu penerapan ilmu biologi untuk mencangkok tanaman, agar hasil buahnya lebih bagus daripada tanaman induknya. Ilmu pertanahan berguna untuk mengelola tanah pertanian dan mengatur sistem irigasinya. Berbagai kemajuan teknologi malah membuat pertanian semakin maju. Kebanyakan lahan pertanian di Amerika ditanami jagung, jerami, dan gandum. Tanah pertanian utama digunakan untuk menghasilkan makanan serat-seratan. Kini, Amerika Serikat merupakan salah satu negara pengekspor hasil tani terbesar di dunia. Komoditasnya pun lengkap dan memiliki kualitas sangat baik. Mulai dari sayur-sayuran, buah-buahan, ayam potong, daging sapi, susu, hingga tembakau dan biji-bijian.

Peralatan pertanian di Amerika sudah sangat modern. Di Amerika, traktor dapat berfungsi sebagai penarik alat-alat lainnya, seperti mesin pencangkul, pemupuk, penanam benih, pemotong, dan pemanen. Bahkan, beberapa traktor dapat menjadi alat penggerak untuk mesin lainnya. Dengan adanya alat atau mesin-mesin modern ini, kegiatan pertanian menjadi lebih efektif dan efisien. Para petani di sana juga menggunakan pesawat terbang kecil untuk menyemprotkan antihama atau menyirami ladang-ladang mereka.

Komoditas makanan yang dulunya belum bisa diproduksi di Amerika, sekarang sudah dapat diproduksi. Salah satunya adalah kedelai, yang baru mulai diproduksi di Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Amerika Serikat kini menjadi salah satu pengekspor kedelai terbanyak. Dan, salah satu importir kedelai Amerika adalah negara kita sendiri, Indonesia. Dengan adanya teknologi pertanian, tanpa membutuhkan sumber daya manusia yang banyak dan lahan yang luas pun dapat memproduksi pangan dengan skala besar.

Indonesia adalah negara agraris dengan pertanian sebagai salah satu sektor utama dalam pembangunan bangsa. Hampir seluruh kegiatan perekonomian Indonesia berpusat pada sektor pertanian. Bahkan mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani. Sehingga, hal ini menjadikan sektor pertanian sebagai sektor penting dalam roda struktural perekonomian Indonesia. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa sampai saat ini Indonesia masih mengimpor bahan pangan terutama pada jenis makanan-makanan pokok? Padahal Indonesia memiliki sumber daya manusia yang besar terutama di sektor pertanian, dan memiliki lahan yang begitu luas pula. Berdasarkan Data Katalog BPS, Juli 2012, Angka Tetap (ATAP) tahun 2011, untuk produksi komoditi padi mengalami penurunan produksi. Gabah Kering Giling (GKG) hanya mencapai  65,76 juta ton dan lebih rendah 1,07 persen dibandingkan tahun 2010. Jagung sekitar 17,64 juta ton pipilan kering atau 5,99 persen lebih rendah tahun 2010, dan kedelai sebesar 851,29 ribu ton biji kering atau 4,08 persen lebih rendah dibandingkan 2010, sedangkan kebutuhan pangan selalu meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk Indonesia. Terlihat adanya ketidak seimbangan antara potensi pertanian Indonesia dengan produkifitas hasil pertaniannya. Apa yang menyebabkan semua itu.

Faktor utamanya adalah karena Indonesia belum menerapkan teknologi pertanian modern, dan masih menggunakan cara-cara konfensional dalam mengolah lahan pertanian. Masyarakat bangsa ini masih berfikir tradisional dan belum melek akan teknologi-teknologi masa kini. Mereka masih mengandalkan cara-cara nenek moyang yang sekarang sudah bukan zamannya lagi. Padahal jikalau Indonesia menerapkan teknologi pertanian dalam mengelola lahan pertaniannya, maka produktifitas pertanian dalam negeri akan melonjak pesat dan dapat meningkatkan ketahanan serta kemandirian pangan yang selama ini menjadi cita-cita bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia tidak akan mengimpor lagi berbagai bahan pangan terutama jenis makanan-makanan pokok.

Berkaca dari apa yang telah terjadi di Amerika, harusnya Indonesia bisa mencontoh atas apa yang telah terjadi di Amerika. seandainya kemajuan teknologi diterapkan di pertanian Indonesia, para petani akan lebih sejahtera dan pengelolaannya lebih mudah. Apalagi dengan melihat potensi pertanian dan kesuburan tanah di Indonesia. Akselerasi penerapan teknologi pertanian merupakan upaya yang paling aplikatif dan paling logis apabila bangsa ini masih mau untuk keluar dari zona keterpurukan di sektor pertaniannya.

Optimalisasi pengelolaan lahan pertanian dengan basis teknologi modern, menjadi kunci sukses dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Untuk dapat mencapai hasil yang optimal, penggunaan berbagai peralatan modern harus segera diterapkan. Modernisasi bukan berarti menghilangkan konsep tradisional pengelolaan pertanian, tetapi dengan menerapkan teknologi pertanian dapat memberikan hasil yang lebih baik dan lebih banyak. Selain itu, petani juga mendapat nilai tambah yang besar. Produktivitas menjadi tinggi, efisien, beban ongkos petani rendah, dan nilai tukar petani akan meningkat. Contohnya, untuk menemukan bibit unggul padi, harus ada penelitian dan penyilangan benih padi, jadi dapat dihasilkan bibit padi yang cepat panen dengan hasil yang lebih banyak dan tahan hama.

Begitu juga dengan pengolahan lahan. Produksi pertanian tidak akan efektif jika hanya mengandalkan tenaga pengolah lahan. Apalagi dengan semakin terbatasnya tenaga pengolah lahan. Dengan modernisasi pertanian, waktu yang dibutuhkan juga semakin singkat. Misalnya, pengolahan lahan/sawah dengan menggunakan hand tractor, yang bukan saja mempercepat pengolahan tanah, tapi juga lebih irit tenaga. Apalagi, populasi kerbau semakin berkurang karena disembelih untuk dikonsumsi manusia.

Untuk menanam padi, digunakan transplanter, dengan waktu tanam yang terhitung cepat. Satu hektare lahan dapat ditanami paling lama satu jam. Jauh lebih cepat dibandingkan penggunaan tenaga manusia yang membutuhkan waktu tiga sampai empat hari untuk menanami satu hektare lahan. Modernisasi peralatan juga telah dilakukan untuk memanen padi. Seperti, penggunaan combine harvester, yang dapat memotong padi jauh lebih cepat dibandingkan dengan cara dibabat manual. Dengan mesin tersebut, satu hektare lahan bisa dipanen dalam waktu dua jam. Sementara, dengan cara manual (dibabat) butuh waktu hingga tiga hari. Penggunaan mesin itu juga dapat mencegah kerusakan padi menjadi lebih baik, yaitu hanya 0,97 persen, dibanding menggunakan alat pemotongan manual, seperti ani-ani atau sabit.

Perlu adanya kebijakan khusus serta berbagai terobosan baru dari pemerintah dalam meningkatkan produktifitas pangan dalam negeri, dengan penerapan teknologi-teknologi masa kini. Beberapa langkah dan terobosan yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produktifitas pangan dalam negeri dengan penerapan berbagai teknologi pertanian adalah :

  1. Pengadaan proyek pertanian berbasis modern yang menggunakan alat-alat berteknologi modern di beberapa wilayah di Indonesia, terutama di daerah luar jawa yang masih banyak lahan kosong yang kurang produktif, seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Sehingga dapat meningkatkan produktifitas pangan dalam negeri tanpa mengandalkan jumlah SDM yang ada di sektor pertanian.
  2. Memberikan peluang dan stimulan kepada para pengusa-pengusaha besar dan pemilik modal untuk membuka proyek pertanian berskala besar yang menggunakan sistem modern, sehingga akan semakin banyak pula lahan pertanian yang dibuka dan dikelola dengan metode yang lebih modern.
  3. Mengembangkan teknologi sumber daya genetik dengan membuka badan penelitian pertanian di setiap daerah, untuk mengetahui varietas unggul di setiap daerah yang kemudian diteliti dan dikembangkan, sehingga dapat menciptakan varietas unggul yang dapat menghasilkan produk pertanian dengan jumlah yang banyak dan memiliki kualitas yang baik.
  4. Pengadaan alat-alat pertanian berbasis modern yang telah mendapatkan subsidi dari pemerintah, sehingga petani dapat membeli alat-alat pertanian modern dengan harga yang relatif terjangkau, dan akhirnya dapat meningkatkan produktifitas hasil pertanian para petani lokal.
  5. Melakukan berbagai riset untuk pengembangan pertanian dalam negeri. Seperti halnya Belanda.Dengan luas wilayah yang relatif kecil bila dibandingkan Indonesia, pada tahun 2011 Belanda mampu menjadi negara peringkat 2 untuk negara pengekspor produk pertanian terbesar di dunia dengan nilai ekspor mencapai 72,8 miliar Euro. Produk andalannya adalah benih dan bunga. Sektor pertanian merupakan pendorong utama ekonomi di Belanda dengan menyumbang 20% pendapatan nasionalnya. Kunci dari majunya pertanian di Belanda adalah Riset. Kebijakan-kebijakan dan teknologi di adopsi dari riset-riset yang dilakukan para ahli. 
  6. Memfokuskan anggaran pertanian pemerintah dalam hal akselerasi penerapan teknologi pertanian yang aplikatif dan terjangkau.
  7. Pengadaan berbagai penyuluhan kepada petani lokal di setiap daerah, tentang penerapan teknologi pertanian dan keuntungannya, serta mengajak para petani lokal untuk beralih dari cara-cara konvensional menuju cara-cara yang lebih modern. 
  8. Mendukung dan memfasilitasi berbagai penelitian dan penemuan alat-alat teknologi baru yang ditemukan, khususnya para mahasiswa yang sering mengadakan berbagai penelitian dan penemuan baru di bidang teknologi.
  9. Mengadakan sayembara dan pameran tahunan tentang teknologi pertanian untuk umum, sehingga para peneliti dan para penemu merasa dihargai dan diapresiasi serta merasa terpacu untuk menemukan teknologi-teknologi baru. Dan jika diadakan setiap tahun, akan makin banyak penemuan-penemuan baru dalam hal teknologi pertanian yang dapat diterapkan pada pertanian Indonesia. 

Dengan langkah-langkah tersebut, maka dalam waktu singkat produktifitas pertanian indonesia akan mengalami peningkatan yang signifikan. Pertanian pun akan lebih efektif dan efisien, serta ketahana serta kemandirian pangan yang selalu dicita-citakan bangsa Indonesia akan segera terwujud. Tetapi, jikalau masyarakat dan pemerintah Indonesia masih bersikukuh menggunakan cara-cara konvensional dan tidak mau melek teknologi, maka Indonesia akan tetap menjadi negara yang selalu bergantung pada negara lain, dan tidak akan pernah bisa menjadi negara maju. Karena, negara maju adalah negara yang selalu mengikuti perkembangan zaman, dan siap menghadapi persaingan global. 


Sumber : kompasiana.com

View dan Rasa Dari Mie Aceh

Mie Aceh merupakan santapan masyarakat lokal dan selalu dicari oleh wisatawan yang datang dari luar daerah, aromanya yang khas dan menggoda memberikan nuansa kenikmatan didalamnya, serta digemari oleh para penggemar kuliner di nusantara, bahkan banyak wisatawan mancanegara yang mulai gemar dengan makanan kuliner ini. 

Disamping rasa yang lezat dan berbau timur tengah, eropa dan cina, kuliner yang satu ini benar-benar sangat sensasional, jika anda ingin menikmati kuliner yang benar-benar bernuansa universal, maka jangan lupa anda untuk mencoba kuliner yang satu ini. Dijamin anda tidak akan pernah kecewa, dan selalu ingin untuk dicoba lagi dan lagi.

Mie Aceh benar-benar mempunyai variasi dalam faktor pelengkap bahan dan teknik memasak. Sedianya tidak sedikit pilihan bahan pelengkap yang sanggup dipesan dan cocok dengan selera. Seandainya Kamu mengira mie aceh cuma disajikan secara digoreng, kemungkinan kamu belum mengenal mie aceh seutuhnya. Tetap ada mie aceh yang lain yaitu mie aceh kuah (rebus), tumis dan mie goreng basah. semuanya sama-sama ditambahkan kaldu dalam proses pemasakannya, perbedaannya hanya pada kadar kuah kaldu yang dipakai, dimana mie kuah (rebus)memanfaatkan lebih sedikit kaldu.

Perbedaan penting Mie Aceh dari dari mie-mie di daerah lain terletak kepada racikan bumbu yang kaya rempah-rempah. Komposisi penting dari bumbu halus pada mie aceh adalah cabai merah, kunyit, jintan, kapulaga, merica dan bawang putih. Takaran pemakaian racikan bumbu yang relatif tidak sedikit dalam tiap-tiap porsi penyajiannya dapat menciptakan rasa yang sangat sensasional, sehingga selalu ingin mencoba dan dicoba.

Cita rasa mie aceh belum lengkap jika tidak ditemani taburan emping dan bawang goreng, karena keduanya dapat memperkaya rasa yang sebenarnya. Taburan emping yang renyah dan gurih makin menambah kenikmatan tersendiri, rasa asam yang segar dari bawang acar melengkapi paduan rasa yang dapat dipastikan menggoyang lidah dengan sempurna, tak ketinggalan segelas jus timun menjadi sahabat sepadan bagi mie aceh buat meredakan rasa pedas yang ditimbulkannya.

Pengelolaan Lingkungan Hidup Patut Dijaga

Lingkungan hidup merupakan semua hal yang menyangkut dengan, air, dan udara dalam suatu daerah tertentu. Ketiga wadah lingkungan hidup tersebut adalah tempat tinggal dan kelangsungan hidup umat manusia. Jika wadah atau media lingkungan hidup sehat, bersih dan terjaga dari pencemaran maka akan terciptanya lingkungan yang sehat bagi manusia. Alam dan manusia merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan (mikrokosmos-makrokosmos). Jika lingkungan tidak terjaga maka akan berdampak buruk bagi kehidupan manusia dan bisamengancam kelangsungan hidup umat manusia di dihari kelak.

Menurut Franz Magnis-Suseno salah satu penyebab rusaknya lingkungan hidup disebabkan oleh sikap teknokratis yang dipraktekkan oleh manusia. Manusia tidak lagi memandang lingkungan sebagai objek, melainkan hanya sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup belaka(Magnis-Suseno, 1993). Dengan bahasa lain alam sengaja di “bongkar” untuk diambil apa yang terkandung didalamnya tanpa memperhatikan etika dan wawasan lingkungan hidup, misalnya ada penebangan liar, eksploitasi bumi atau eksploitasi hutan secara illegal dan berbagai kejahatan lingkungan lainnya yang terus dilakukan tanpa sedikitpun memperhatikan rusaknya alam sekitar. Padahal secara lahiriah, harus diakui bahwa alam atau lingkungan merupakan suatu sarana primer bagi kelangsungan hidup manusia. Sampai kapanpun alam menjadi satu kesatuan dalam sejarah hidup umat manusia dari awal sampai akhir penghidupan di muka bumi ini.

Putusnya jalan di Gunong Paro, tertimbunya 19 rumah di Aceh Jaya dan Aceh Besar, banjir besar di Aceh Singkil, Aceh Barat, Nagan Raya, Kota Banda Aceh dan beberapa daerah lainnya di Aceh merupakan salah satu bentuk dari dampak lingkungan hidup yang sudah rusak atau tercemar oleh perbuatan manusia itu sendiri. Sekarang, jangan lagi kita menyalahkan alam yang tidak bersahat dengan kita, karena pada dasarnya kitalah yang tidak lagi bersahabat dengan alam, seolah-olah menusia sudah lupa bahwa alam itu sebagai makrokosmos bagi kehidupan umat manusia.
Musibah longsor dan banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Aceh tidak hanya sekedar membawa hikmah saja, akan tetapi pembelajaran yang berharga danyang lebih penting lagi bagaiman pertanggung jawabankita sebagai manusia dengan gelarkhalifah di muka bumi ini (lihat QS. al-Baqarah : Ayat 30). Allah Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan alam semesta ini dengan sempurna demi kelangsungan hidup ekosistem yang ada dan tanggung jawabdiserahkan kepada manusia sebagai khalifah.

Butuh Kesadaran/Penegakan Hukum

Berbicara penegakan hukum, penulis sependapat dengan teori hukum alam yangdikembangkan oleh Grotius, Kant, Aquinas, dkk. Dalam pemahaman hukum alam seharusnya manusia tidak lagi diarahkan sebagai majikan lingkungan hidup yang serakah, namun sudah saatnya untuk diarahkan sebagai majikan yang arif dan bijaksana. Dalam konteks wawasan lingkungan, butuh komitmen dari dalam diri manusia itu sendiri untuk melakukan pendekatan “use oriented” kepada pendekatan “environtment oriented” yang mengandung arti mengelola lingkungan hidup tanpa harus merusak dan atau mencemarkannya (I Made Arya Utama, 2007).Pemahaman teori hukum alam, nampaknya sejalan dengan pemikiran pakar hukum lingkungan Indonesia yaitu Daud Silalahi. Silalahi mengatakan bahwa pemanfaatan sumber daya alam dalam rangka pembangunan harus digunakan secara rasional, bukan irasional. Sehingga dapat memberikan manfaat yang besar tanpa merugikan kepentingan umum dan generasi yanga akan datang (Silalahi, 1997).

Demi terciptanya tata lingkungan hidup, pemerintah telah mengeluarkan UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,yang kemudian digantikan dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini adalahperaturan materil yang dibuat oleh pemerintah dengan tujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup sekaligus memberi perlindungan hukum bagi masyarakat agar bisa hidup dalam lingkungan yang bersih dan sehat. UU No. 32 ini mewajibkan kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup, memberikan perlindungan hukum, dan melakukan pengawasan terhadap pertanggungjawaban perusahaan/pengusaha yang melakukan kegiatan usaha berkaitan dengan lingkungan.

Disamping itu, UU tersebut juga menyerukan kepada setiap warga negara untuk melakukan penanggulangan, pemulihan, dan memelihara kelestarian lingkungan hidup. UU ini juga memberikan hak dan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk berperan aktif dalam memberikan/melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran serta tersebut dapat berupa pengawasan sosial, usulan/saran, pengaduan/laporan, keberatan serta menyampaikan informasi terhadap kejahatan lingkungan hidup. Artinya UU telah memberikan legitimasi kepada pemerintah daerah dan masyarakat untuk pro-aktif terhadap penegakan lingkungan hidup.

Oleh sebab itu tidak perlu sunkan, sudah saatnya kita sebagai manusia yang hidup bermasyarakat (zoon politicon)secara bahu membahuberperan aktif dalam pelestarian lingkungan hidup. Begitu juga dengan pemerintah pusat maupun daerah serta instansi terkait untuk segera berupaya memberikan perlindungan hukum terhadap lingkungan hidup yang sehat, agar masyarakat bisa hidup dengan makmur, adil dan sejahtera. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan harus bersikap tegas terhadap penerapan berbagai peraturan yang berkaitan dengan lingkungan. Sekali lagi, kepada segenap elemen masyarakat agar benar-benar menghormati alam sekitar dan wujudkan bentuk tanggung jawab kita terhadap lingkungan masing-masing. Semoga.



Sumber : acehinstitute.org, aceh-greencommunity.com

 
Copyright © 2016 Fadli Tambue. All Rights Reserved. Powered by Fadli
Template by Creating Website and CB Blogger